Senin, 24 Mei 2010

Peran Orang Tua dalam Perkembangan Gender Anak


Konsep peran gender merupakan sebuah pandangan seseorang terhadap sikap, aktivitas, dan tingkah laku apa saja yang pantas dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Peran gender perempuan lekat dengan sesuatu yang feminin sedangkan peran gender laki-laki lekat dengan yang maskulin.

Salah satu sumber informasi yang berperan besar dan penting bagi individu adalah keluarga. Sebagai salah satu institusi sosial, keluarga berperan penting dalam melakukan sosialisasi terhadap norma sosial yang berlaku di masyarakat, termasuk sosialisasi terhadap peran gender yang ada dalam masyarakat. Mengingat keluarga adalah komunitas awal bagi individu, maka dapat dikatakan bahwa konsepsi individu tentang peran perempuan dan laki-laki bermula dari pembelajaran yang diperolehnya dalam keluarga.

Orang tua memulai proses sosialisasi dalam bentuk tindakan-tindakan yang mengarah pada pemetaan gender. Pemetaan gender adalah suatu proses pembedaan peran gender sesuai dengan jenis kelamin. Pada saat usia anak masih relatif muda, pemetaan gender terjadi dengan mempromosikan preferensi tertentu pada anak. Contohnya membiasakan anak perempuan dengan warna merah muda dan anak laki-laki dengan warna biru. Selain itu, orang tua juga cenderung memberi label pada jenis mainan anak. Barbie adalah boneka untuk anak perempuan sementara action figures adalah boneka untuk anak laki-laki. Seringkali orang tua, terutama ayah, memberikan batasan tegas mengenai jenis mainan yang boleh dimainkan kepada anaknya, terutama kepada anak laki-laki. Secara khusus, orang tua melakukan sosialisasi peran gender dengan mempromosikan aktivitas yang dianggap sesuai. Misalnya, anak perempuan lebih diharapkan untuk membantu pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan menyapu, sementara anak laki-laki dituntun untuk melakukan pekerjaan yang lebih “jantan”.

Terkadang, orang tua juga menunjukkan gaya komunikasi yang berbeda terhadap anak sesuai dengan jenis kelaminnya. Ibu misalnya, lebih sering berkomunikasi dengan anak perempuan dan bersifat lebih mendukung. Selain itu, orang tua juga melakukan perbedaan terhadap pengajaran tentang emosi kepada anaknya. Dalam berbicara kepada anak, ibu lebih sering menggunakan kata yang bermuatan emosi daripada ayah. Nah, apabila terjadi proses modeling, maka anak perempuan yang menjadikan ibu sebagai model akan lebih sering menunjukkan ekspresi emosi dalam bentuk kata-kata daripada anak laki-laki yang menjadikan ayah sebagai model.

Pada akhirnya, anak belajar banyak tentang pola peran gender dari proses sosialisasi yang dilakukan orang tua. Mulai dari sikap mereka terhadap aktivitas tertentu hingga gaya komunikasi. Hasil sosialisasi dari orang tua ini kemudian akan berinteraksi dengan pembelajaran anak tentang peran gender lewat media, sekolah, teman, guru, dan segala aspek lingkungan eksternal anak lainnya. Anak kemudian memperoleh suatu skema peran gender yang akan menjadi bagian dari konsep dirinya.

Minggu, 23 Mei 2010

PERKEMBANGAN IDENTITAS ANAK

Selama dalam proses kanak-kanak, terjadi perubahan dan perkembangan pada fisik, kognitif dan psikososial yang saling terkait satu sama lain. Pada masa kanak-kanak awal, anak belajar dengan melihat dan mencoba langsung apa yang diamatinya. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya pemikiran anak berkembang, anak mulai memahami sesuatu lewat benda-benda yang nyata. Menurut Piaget, pada masa itu berarti anak memasuki fase operasional konkrit, dimana anak mulai mengidentifikasikan diri dalam tatanan hidupnya.

Pada usia sekolah dasar, anak mulai mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang individu yang aktif. Dalam hal ini dia akan mencari tahu siapakah dirinya yang sebenarnya, untuk apakah dia menjalani rutinitas dan pada masa inilah anak mulai belajar untuk mengenal lebih jauh siapakah dirinya.

Anak pada kelas rendah sekolah dasar cenderung masih belum bisa berpikir tentang hal yang abstrak. Pengaruh mental, dalam hal ini mengedepankan perasaan, menjadi hal utama yang menjadi masalah dalam perkembangan pemikirannya. Orang tua berperan penting dalam adaptasi terhadap lingkungan barunya. Seiring dengan terbiasanya mereka pada lingkungan yang baru, anak mulai mendapatkan tempatnya di dalam kelas. Posisi mereka biasanya terpengaruh dari seberapa besar rasa percaya diri yang mereka punya. Kecepatan adaptasi akan membuat anak cepat dalam berpikir dan mengembangkan kemampuan interaksinya.

Pada kelas tinggi sekolah dasar, anak sudah dapat menggunakan logikanya untuk berpikir. Mereka berusaha memecahkan masalah dengan pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya. Penguasaan pengetahuan akan berdampak pada kecepatan anak untuk menemukan masalah, berpikir dan memecahkannya. Anak mulai menemukan konsep dirinya untuk berpikir ke depan. Lingkungan kelas akan mempengaruhi perubahan perilaku dan mentalitas dalam bergaul. Posisi dalam kelas adalah hasil dari identifikasi kapasitas mereka dalam interaksi sosial pada tingkat kelasnya. Kepercayaan diri yang tinggi akan membuat mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan menempatkan dirinya pada posisi yang tinggi pula. Hal ini berguna bagi peningkatan cara pandang dan cara berpiir anak.

Nah, pada masa ini anak memerlukan kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya untuk mengembangkan tingkat berpikir anak. Dengan pemberian kepercayaan, maka anak akan merasa dihargai dan berusaha untuk menghargai orang lain dalam interaksi. Tentu saja hal ini akan berdampak langsung pada pembentukan karakter mereka.