Sabtu, 14 Mei 2011

MOTHERHOOD




"Because mom is do everything and dad only did something. It’s different.”

Film ini bercerita mengenai bagaimana perjuangan seorang ibu dalam mengurus keluarganya sehari-hari. Dibintangi oleh Uma Thurman yang berperan sebagai Eliza, mantan penulis fiksi dan memutuskan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Eliza memiliki dua orang anak yaitu Clara dan Lucas. Kegiatannya sehari-hari Eliza mulai dari bangun tidur adalah mengurus segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan dan keberlangsungan rumah tangga. Mulai dari mengurus makanan, melipat baju, hingga mengantar jemput anak. Sementara suaminya digambarkan adalah sosok yang terkesan kurang peka dengan keluarganya.

Hari itu diceritakan, Eliza akan merayakan ulang tahun anaknya yang ke-6 dan dia harus berbelanja untuk kebutuhan pesta ulang tahun anaknya. Di hari yang sama, dia menemukan sebuah pengumuman ada lomba penulisan Motherhood dengan nilai hadiah yang tinggi, tapi batas waktu pengumpulannya tinggal menghitung hari. Akhirnya mau tidak mau, Eliza harus bisa membagi waktu antara kesibukannya mengurus buah hati dengan keinginannya menyelesaikan tulisan. Dari sinilah kesabaran Eliza sebagai ibu mulai diuji.

Apabila dianalisa berdasarkan Stages In Interpersonal Relationship maka cerita dalam film diatas termasuk pada tahap yang keempat yaitu Deterioration. Deterioration sendiri merupakan tahap dimana individu mulai merasa ada ketidakpuasan dalam hubungan atau mulai melemahnya ikatan dengan pasangan yang dapat mengakibatkan dua kemungkinan, yang pertama adalah Repair (memperbaiki) atau Dissolution yang berujung perpisahan atau perceraian. Repair dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: (1) intrapersonal repair (menganalisa&merefleksi diri) dan (2) interpersonal repair ( negosiasi,kesepakatan baru dll).

Tahap Deterioration ini dapat dilihat ketika Eliza berencana untuk meninggalkan kota karena merasa jenuh dan lelah dengan kehidupannya sehari-hari. Eliza juga merasa bahwa suaminya tidak menghargai hasil tulisannya karena memberikan kritik yang terlalu menjatuhkannya. Namun tahap Deterioration ini berujung pada keputusan untuk memperbaiki hubungan (repair) karena Eliza dan suaminya akhirnya memilih untuk bernegosiasi mengenai masalah mereka dan kemudian merefleksi diri supaya hubungan mereka tetap berjalan lebih baik.

Minggu, 10 April 2011

Permainan Tipe Gender (Gender-typed Play)

Orang tua biasanya bermain dengan berbagai cara dengan anak-anaknya. Tipe permainan ini bisa yang bersifat fisik, menggunakan media mainan atau olahraga. Penelitian menyatakan bahwa ayah cenderung lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk bermain dengan anak daripada ibu. Lebih jauh, ibu dan ayah cenderung membedakan tipe permainan yang mereka mainkan. Ayah lebih sering menggunakan permainan yang bersifat fisik sedangkan ibu lebih cenderung menggunakan permainan yang melibatkan mainan seperti boneka atau alat lain yang sifatnya mendidik. Selain itu terdapat juga pengaruh dari gender anak terhadap perilaku bermain orang tua. Permainan yang bersifat fisik biasanya lebih suka dimainkan oleh ayah dengan anak laki-lakinya dan anak perempuan cenderung dilarang untuk memainkannya.

Kemudian selain permainan yang sifatnya fisik, aktivitas anak-anak pasti tidak akan jauh dari mainan. Orang tua cenderung memberikan anak mereka mainan sesuai dengan jenis gender dan mendorong mereka untuk memainkannya sesuai dengan jenis gender juga. Ketika orang tua memberikan mainan yang sesuai dengan jenis gender anak, anak laki-laki cenderung akan diberi mainan seperti peralatan olahraga atau kendaraan seperti sepeda. Sebaliknya anak perempuan akan cenderung diberikan mainan seperti boneka atau replika alat memasak. Beberapa orang tua ditemukan telah membelikan mainan sesuai jenis gender anak beberapa bulan saat anak itu lahir, bahkan sebelum anak tersebut dapat memilih mainan yang mereka suka sendiri.

Secara tidak langsung terdapat pengaruh dari perilaku bermain yang diberikan ayah dan ibu terhadap harapan anak. Fagot (1984) menyatakan bahwa anak belajar peran yang berbeda antara permainan laki-laki dan permainan perempuan di dalam rumah dan setelah itu menggunakan skema ini untuk membimbing perilaku mereka diluar rumah.

Bagaimanapun juga bermain merupakan pekerjaan anak-anak. Melalui permainan anak-anak dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan sosial mereka hingga mereka beranjak dewasa.


Minggu, 28 November 2010

WHAT FRIENDS ARE FOR ..

Berbicara mengenai remaja pasti tidak akan jauh dengan pembicaraan seputar teman-teman sebayanya, geng, pacar, jalan-jalan, main dan kegiatan lain diluar sekolah dan rumah. Karena pada masa ini remaja lebih sering menghabiskan waktunya bersama teman-teman mereka. Persahabatan menjadi sangat penting dan kepopuleran dapat menjadi motivasi terbesar bagi mereka. Rasa persahabatan yang kuat ini kemudian akan membawa mereka menemukan teman-teman mana saja yang cocok dengan mereka dan mereka akan sebuah kelompok sendiri. Kesetiaan pada kelompok ini memiliki kendali yang kuat terhadap kehidupan banyak remaja, dimana identitas kelompok seringkali mengarahkan identitas pribadi. Label “saudara” kadang-kadang digunakan dalam percakapan antar anggota kelompok dan dijadikan simbol ikatan yang kuat antar anggota.

Gambaran kehidupan remaja diatas diperlihatkan dalam film “Gridiron Gang”, sebuah film yang diadaptasi dari kisah nyata yang menceritakan tentang kehidupan para remaja yang menjadi tahanan di penjara remaja. Dalam film 75% remaja yang sudah keluar dari penjara dan kembali ke lingkungan mereka akan kembali lagi ke penjara karena kembali melakukan tindak kriminal atau justru menjemput maut di jalanan karena konflik antar geng yang tak jelas dan tak berujung. Para sipir di penjara tersebut berusaha merubah keadaan ini dengan membentuk sebuah tim football yang anggotanya dipilih dari beberapa remaja penghuni penjara. Mereka dididik supaya memiliki solidaritas dalam sebuah tim dengan cara yang lebih tepat. Mereka juga diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri dan membuktikan diri mereka bahwa mereka bukanlah sampah masyarakat. Tim football ini pun diberi kesempatan untuk bertanding dalam sebuah liga football melawan tim-tim football seantero Amerika, yang para anggotanya bukanlah para penghuni penjara. Dari sini, mereka belajar merasakan kegagalan, kekalahan, kesedihan, dan kekompakan dalam menjalani kehidupan.

Beberapa gambar cuplikan film “Gridiron Gang” :






new page !!

hi there ! hha

mulai dari page ini sampai kedepannya (sampai mata kuliah baru lagi hhe) blog ini bakal ngebahas tentang kehidupan remaja dilihat dari sudut pandang psikologi.

So..lets start :)

Minggu, 13 Juni 2010

Pengaruh Teman Sebaya Dan Sekolah Terhadap Perkembangan Anak

Teman Sebaya

Konteks sosial di luar keluarga pada anak-anak adalah teman sebaya. Pada teman sebaya inilah, anak memperoleh informasi dan perbandingan tentang dunia sosialnya. Anak juga belajar tentang prinsip keadilan melalui konflik-konflik yang terjadi dengan teman-temannya. Pada masa sekolah dasar, teman sebaya yang dipilih biasanya terkait dengan jenis kelamin. Anak cenderung bermain dengan teman sesama jenis kelaminnya. Dalam pergaulan ini anak belajar tentang konsep gender antara laki-laki dan perempuan dimana anak laki-laki seringkali saling mengajarkan perilaku maskulin dan anak perempuan juga saling mengajarkan kultur bagaimana menjadi wanita.

Pada masa remaja awal dimana remaja menyatakan bahwa mereka lebih tergantung kepada teman daripada orang tua untuk memenuhi kebutuhan akan rasa kebersamaan, keinginan untuk ikut serta dalam kelompok pertemanan makin meningkat. Disini rasa persahabatan mereka memainkan peranan cukup penting sehingga apabila remaja bertemu dengan sebuah kelompok kecil kemudian merasa cocok dan nyaman berada dalam kelompok tersebut mereka akan berusaha untuk tetap setia dan kesetiaan pada kelompok ini dapat mempengaruhi hidup mereka.

Sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka membantu anak agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral spiritual, intelektual, emosionalmaupun sosial. Peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak adalah sebagai faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak baik dalam cara berpikir, bersikap maupun cara berperilaku. Sekolah mempunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam membantu para anak mencapai tugas perkembangannya. Alasannya antara lain adalah bahwa sekolah memberi pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan perkembangan konsep dirinya, anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah dari pada tempat lain di luar rumah, sekolah memberikan kesempatan kepada anak untuk meraih sukses, sekolah memberi kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuan secara realistic dan sekolah juga berperan sebagai substansi keluarga dan guru subtitusi orang tua.

Sehubungan hal ini, sekolah sebisanya berupaya menciptakan suatu kondisi yang dapat memfasilitasi anak untuk mencapai tugas perkembangannya tersebut. Upaya sekolah dapat berjalan dengan baik, apabila sekolah tersebut telah tercipta kondisi yang sehat atau efektif, baik menyangkut aspek manajemennya, maupun profesionalisme para personelnya. Sekolah yang efektif itu sebagai sekolah yang memajukan, atau mengembangkan prestasi, ketrampilan sosial, sopan santun, sikap positif terhadap belajar, rendahnya angka absen dan memberikan ketrampilan-ketrampilan yang memungkinkan seorang anak dapat mandiri. Sekolah yang efektif disamping ditandai oleh ciri-ciri di atas juga sangat didukung oleh kualitas para guru, baik menyangkut karakteristik pribadi maupun kompetensinya. Karakteristik pribadi dan kompetensi guru ini sangat berpengaruh terhadap kualitas proses pembelajaran di kelas atau hubungan guru dengan anak di kelas yang pada nantinya akan berpengaruh pula pada keberhasilan belajar anak tersebut.

Sabtu, 12 Juni 2010

ANAK & MEDIA:Lebih Efektif Mana ? Dora The Explorer atau Buku Cerita Bergambar ?

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu anak dalam mempelajari sesuatu, mulai dari mengenali benda, hewan, warna, berhitung, cara bersikap yang sesuai, melatih gerakan motorik, bahkan belajar bahasa asing. Salah satunya adalah dengan melalui media, baik itu media audio-visual maupun media visual. Namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah lebih efektif mana antara media audio-visual maupun media visual dalam membantu anak mempelajari hal-hal yang ada di sekitar mereka ?
Sebagai perbandingan, dari media audio-visual saya mengambil acara anak “Dora The Explorer” dan dari media visual saya mengambil buku cerita bergambar yang berjudul “Good Manner”. Berikut hasil perbandingannya :

Data Umum
Jenis : Film Kartun
Judul : Dora The Explorer
Durasi : 48 menit (terbagi menjadi 2 subjudul masing-masing 24 menit)
Tahun 2001

Penyampaian Content
Full kartun

Content
Terbagi menjadi2 subjudul :
1.Peta yang hilang
2.Kejutan untuk Ibu
Subjudul pertama menceritakan tentang petalangan Dora & Boat mencari sahabat mereka Peta yang hilang diambil oleh burung besar, sedangkan film kedua menceritakan tentang petualangan mencari bahan-bahan yang kurang untuk membuat kue kejutan untuk ibu Dora

Tujuan
-Mengenali benda, hewan, warna
-Belajar berhitung
-Melatih gerak motorik anak
-Mengajarkan bahasa Inggris
-Belajar menyanyi
-Belajar susunan. Misal : tempat mana dulu yang didatangi supaya bisa sampai tujuan)

Sasaran pembaca/penonton
-Anak-anak usia preschool yang baru belajar mengenali benda, hewan, warna, berhitung, belajar bhs Inggris yang mudah, masih suka menari dan bernyanyi
-Cocok untuk semua jenis kelamin

Pengemasan media
-Menarik, karena jalan cerita bersifat petualangan
-Komunikatif, karena mengajak anak ikut menyebutkan nama benda, hewan atau warna dan menyanyi atau mengikuti gerakan
-Sesuai dengan sasaran usia yang dituju

Teori yang relevan
Menurut teori belajar sosial Bandura, imitasi atau modelling merupakan suatu proses pembelajaran yang dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Proses pembelajaran ini melibatkan Atensi, Retensi, Produksi dan Motivasi (Santrock,2007


Data Umum
Jenis : Buku
Judul : Good Manner: Hello ! Halo !
32 Hal. Tahun 2009
Bilingual (2 bahasa)

Penyampaian Content
Buku cerita bergambar

Content
Buku terbagi menjadi 3 subjudul :
1.Layang-layang David
2.Emma&Sita di sekolah
3.Jon ikut bermain
Dan ketiganya menceritakan tentang pentingnya kata sapaan “Halo”

Tujuan
-Untuk mengajarkan pada anak pentingnya perilaku menyapa di masyarakat
-Sekaligus mengajarkan anak bahasa Inggris karena buku disajikan dengan 2 bahasa (Eng-Indo)

Sasaran pembaca/penonton
-Lebih cocok untuk anak usia awal sekolah dasar yang sudah bisa lancar membaca namun masi perlu rangsangan gambar supaya tertarik
-Cocok untuk semua jenis kelamin

Pengemasan media
-Penulisan bahasa Inggris yang berada langsung di bawah teks bahasa Indonesia memudahkan anak untuk belajar bahasa Inggris
-tidak berbelit-belit karena penyampaian cerita mudah dicerna anak usia awal sekolah
-Gambar juga mendukung untuk proses belajar dan menyerap isi cerita karena menarik dan penuh warna

Teori yang relevan
Anak belajar melalui interaksi dengan orang-orang dewasa dan teman sebaya yang lebih berpengalaman, yang menolong mereka berpikir melampaui “zona” dimana mereka mampu bertindak tanpa bantuan (Vygotski dalam Santrock,2007).


Analisis :
Dari hasil perbandingan diatas dapat kita lihat bahwa masing masing media baik itu visual maupun audio-visual memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam tujuannya untuk membantu anak dalam belajar karena masing-masing media memiliki sasaran pembaca atau penonton yang berbeda usianya. Untuk film kartun Dora The Explorer yang sasaran penontonnya anak usia prasekolah yang memiliki ciri bahwa anak pada usia ini sangat suka mengimitasi perilaku orang lain, maka dalam film tersebut cara penyampainnya dibuat sekomunikatif mungkin dengan cara mengajak anak untuk ikut menjawab pertanyaan, mengulang dialog, menari atau bernyanyi. Sedangkan untuk media berupa buku cerita bergambar yang sasaran pembacanya adalah anak usia awal sekolah dasar dimana proses belajar dilakukan melalui interaksi dengan orang-orang dewasa dan teman sebaya yang lebih berpengalaman, maka dalam cerita di buku ini digambarkan oleh tindakan interaksi sosial yaitu sapaan terhadap orang lain.

Opini dan Kesimpulan :
Dari kedua media diatas, saya lebih memilih media audio-visual yaitu sebagai contoh adalah film kartun Dora The Explorer karena saya rasa konsep dan penyajiannya cukup menarik dilihat dari bagaimana Dora dan Boat aktif mengajak anak untuk ikut serta menjawab pertanyaan, mengulang dialog, menari atau bernyanyi sehingga membuat anak mudah mengingat dan lebih mudah juga untuk mempelajari sesuatu, sedangkan untuk media yang satu lagi yaitu buku cerita bergambar kurang saya sukai karena jika terus-menerus diberikan pada anak akan cenderung membuat anak bosan karena kurang “ramai”. Kemudian saya bisa menyarankan kepada orang tua untuk tetap mengontrol dan membimbing anak agar dapat menyerap serta mengambil pelajaran sesuai tujuan. Jangan sampai media yang variatif dan inovatif malah semakin membuat anak menjadi malas belajar atau bahkan antisosial.


Regards,
Kartika Melati & Onie Herdysta

Senin, 24 Mei 2010

Peran Orang Tua dalam Perkembangan Gender Anak


Konsep peran gender merupakan sebuah pandangan seseorang terhadap sikap, aktivitas, dan tingkah laku apa saja yang pantas dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Peran gender perempuan lekat dengan sesuatu yang feminin sedangkan peran gender laki-laki lekat dengan yang maskulin.

Salah satu sumber informasi yang berperan besar dan penting bagi individu adalah keluarga. Sebagai salah satu institusi sosial, keluarga berperan penting dalam melakukan sosialisasi terhadap norma sosial yang berlaku di masyarakat, termasuk sosialisasi terhadap peran gender yang ada dalam masyarakat. Mengingat keluarga adalah komunitas awal bagi individu, maka dapat dikatakan bahwa konsepsi individu tentang peran perempuan dan laki-laki bermula dari pembelajaran yang diperolehnya dalam keluarga.

Orang tua memulai proses sosialisasi dalam bentuk tindakan-tindakan yang mengarah pada pemetaan gender. Pemetaan gender adalah suatu proses pembedaan peran gender sesuai dengan jenis kelamin. Pada saat usia anak masih relatif muda, pemetaan gender terjadi dengan mempromosikan preferensi tertentu pada anak. Contohnya membiasakan anak perempuan dengan warna merah muda dan anak laki-laki dengan warna biru. Selain itu, orang tua juga cenderung memberi label pada jenis mainan anak. Barbie adalah boneka untuk anak perempuan sementara action figures adalah boneka untuk anak laki-laki. Seringkali orang tua, terutama ayah, memberikan batasan tegas mengenai jenis mainan yang boleh dimainkan kepada anaknya, terutama kepada anak laki-laki. Secara khusus, orang tua melakukan sosialisasi peran gender dengan mempromosikan aktivitas yang dianggap sesuai. Misalnya, anak perempuan lebih diharapkan untuk membantu pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan menyapu, sementara anak laki-laki dituntun untuk melakukan pekerjaan yang lebih “jantan”.

Terkadang, orang tua juga menunjukkan gaya komunikasi yang berbeda terhadap anak sesuai dengan jenis kelaminnya. Ibu misalnya, lebih sering berkomunikasi dengan anak perempuan dan bersifat lebih mendukung. Selain itu, orang tua juga melakukan perbedaan terhadap pengajaran tentang emosi kepada anaknya. Dalam berbicara kepada anak, ibu lebih sering menggunakan kata yang bermuatan emosi daripada ayah. Nah, apabila terjadi proses modeling, maka anak perempuan yang menjadikan ibu sebagai model akan lebih sering menunjukkan ekspresi emosi dalam bentuk kata-kata daripada anak laki-laki yang menjadikan ayah sebagai model.

Pada akhirnya, anak belajar banyak tentang pola peran gender dari proses sosialisasi yang dilakukan orang tua. Mulai dari sikap mereka terhadap aktivitas tertentu hingga gaya komunikasi. Hasil sosialisasi dari orang tua ini kemudian akan berinteraksi dengan pembelajaran anak tentang peran gender lewat media, sekolah, teman, guru, dan segala aspek lingkungan eksternal anak lainnya. Anak kemudian memperoleh suatu skema peran gender yang akan menjadi bagian dari konsep dirinya.